Jakarta | media selidik korupsi.id-
Kenangan kelam kerusuhan Poso awal 2000 masih membekas di benak Taufik Umar. Saat itu, ia bersama keluarganya harus mengungsi dari kampung halaman karena setiap orang yang melintas diperiksa KTP-nya. Bukan nama atau alamat yang ditanya, melainkan agama yang tercantum di kartu identitas.
“Yang diperiksa di jalan itu agamanya. Kalau berbeda agamanya dengan massa yang berjaga, bisa habis di tempat. Ada yang dibakar hidup-hidup, ada yang dipukul sampai meninggal. Itu mengerikan,” kenang Taufik dengan suara lirih.
Pengalaman itulah yang mendorong Taufik mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia resmi mendaftarkan perkara pada 27 Agustus 2025 dengan nomor 155/PUU/23/2025. Sidang pendahuluan telah digelar secara daring pada 3 September 2025.
Taufik menggugat Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan pencantuman kolom agama pada KTP dan Kartu Keluarga. Menurutnya, aturan ini berpotensi merugikan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945, khususnya Pasal 28A, 28D, 28E, 28G, 28H, dan Pasal 281.
Motivasi saya sederhana agar jangan sampai Konflik Agama seperti di Poso terulang kembali di bumi persada nusantara ini. Indonesia itu pluralis. Gesekan agama sangat sensitif. Jangan hanya karena karena Kolom Agama di KTP, terancam bahkan tercabut hak hidup orang banyak seperti yang pernah saya saksikan dan alami di Poso. Jangan sampai NKRI Harga Mati tapi Bhinneka Tunggal Ika sudah mati Indikasinya jelas, kita dapat menyaksikan berbagai tindakan intoleransi, Persekusi, dan diskriminasi terselubung atas nama Agama yang terus menerus terjadi beberapa tahun terakhir ini. Harapan saya adalah, Majelis Hakim MK RI mengabulkan permohonan JR saya untuk Indonesia yang damai, aman dan sejahtera.
Kuasa hukum Taufik, Santiamer Silalahi, menegaskan permohonan ini memiliki alasan hukum berbeda dengan perkara serupa yang pernah diputus MK sebelumnya. “Kalau alasannya berbeda, maka bisa diajukan kembali. Kolom agama di KTP bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah. Itu yang harus kita luruskan,” ujarnya.
Menurut Santiamer, dampak pencantuman kolom agama tidak bisa dianggap sepele. Dari KTP seseorang bisa dikenali agamanya, dan celah itu sering menjadi pemicu intoleransi, persekusi bahkan pengusiran dari satu wilayah karena perbedaan agama. “Kami berharap majelis hakim melihat persoalan ini bukan hanya dari sisi aturan, tetapi dari nurani. Pencantuman kolom agama seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Kini, perkara tersebut menunggu sidang lanjutan di MK. Harapan Taufik hanya satu: agar permohonan itu dikabulkan demi menjamin keadilan dan menjaga keutuhan bangsa.
Polman Manalu

